“Tiada
sesuatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri
melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfûzh) sebelum Kami
menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allâh
[al-Hadiid/57:22]
“Hidup harus terus berlanjut,tidak peduli seberapa menyakitkan atau membahagiakan, biar waktu yg menjadi obat” ― Tere Liye, Ayahku (Bukan) Pembohong
Aku teringat sebuah kejadian sederhana namun sangat membekas. Pagi itu tepat dihari senin aku masuk kuliah sekitar jam 10 , aku kemudian bersiap lebih cepat dibanding kebiasaanku pada hari-hari senin biasanya. sekitar jam 9 lewat aku sudah berangkat dan beranggapan aku tidak mungkin terlambat. Waktu yang butuh aku tempuh dari tempat tinggalku ke kampus (hingga ke kelas) cukup hanya berkisar 10 - 15 menit. Namun pagi itu ternyata pagi yang berbeda dari biasnya, pagi itu wakil presiden mendatangi kampus yang membuat berbagai akses jalan menuju kampus di tutup. Hanya ada satu akses jalan yang terbuka dan keadaan jalan pagi itu menjadi sangat macet. Jadilah aku dan sebagian besar teman menjadi terlambat dan tanda alpa tertera di absen kami.
Itulah takdirku pagi itu tak peduli sepagi apa aku berangkat ketika Allah menakdirkanku untuk terlambat aku akan tetap terlambat. Ada banyak kisah antara aku dan takdirku sebagaimana kamu pasti juga mempunyai banyak cerita antara dirimu dan takdirmu. Bersama takdir ada banyak rasa yang aku alami entah itu sedih, marah, jengkel, senang, bahkan terkadang semua perasaan itu malah menjadi satu.
Sebagaimana aku telah katakan bahwa manusia adalah makhluk perencana begitupula aku. Aku juga merupakan manusia yang punya banyak rencana. Hingga ada satu mimpi besar yang sangat aku inginkan namun ia tidak terwujud. Ia adalah takdirku yang saat itu paling berat aku terima. kemudian aku akhirnya bisa memulai berdamai.Kemudian aku berfikir ini adalah takdir terberatku namun ternyata ada satu takdir paling sulit untuk aku terima. Hingga saat ini tetap saja itu sulit. Ia adalah takdir kehilangan.
Takdir kehilangan adalah ketakunan terbesarku. Aku tak ingin memilki hewan peliharaan sebab kehilangannya akan sangat menyakitkan. Aku tak ingin memiliki benda kesayangan sebab kehilangannya akan sangat menyakitkan. Aku tak ingin mencitai sesuatu berlebihan, agar ketika ia hilang tak perlu sangat menyakitkan. Namun aku selalu tidak tau cara menyiapkan hatiku untuk kehilangan sesorang. Terutama kehilangan keluarga. Dan kemudian Allah menakdirkanku kehilangan Bapak. Yang dengan perginya bapak beberapa mimpiku harus aku relakan untuk ikut pergi.
Bapak adalah sosok yang selalu aku kagumi. Aku selalu ingin berhati kuat seperti bapak, aku selalu ingin punya rasa sabar seperti bapak, aku ingin selalu bisa tegas seperti bapak. Bapak adalah orang kedua yang selalu menghubungiku. Aku bisa berbicara berlama-lama dengan bapak. Dibandingkan mama ada lebih banyak hal yang dapat aku ceritakan ke Bapak entah itu tentang kodisiku di tempat rantau, kondisi kuliahku, teman-temanku, mimpi-mipiku, mimpi-mimpi bapak, kodisi bapak di tempat kerja dan masih banyak lagi. Tentulah sejak kehilangan Bapak ada banyak yang berubah, kondisi rumah yang lebih sepi, ketika aku dikampung tak ada lagi yang mengantarku kemana-mana, tak ada lagi yang sering jail, tak ada lagi yang sering mengantarku ketempat rantau, tak ada lagi nasehatnya, tak ada lagi senyumnya yang selalu ku rindukan.
Namun seberapa menyakitkan ini tetap saja inilah takdirku, entah aku marah, jengkel, nangis, sedih tak akan merubah apapun. Semua atas kehendak-Nya bukan atas kehendakku. Allah yang tau apa yang lebih baik tentang diriku bukan aku. Saat ini menerimanya masih sangat berat namun aku yakin akan ada waktu yang tepat untuk menerima takdir.
"Pada akhirnya di dunia ini kamu, aku, dia,dan mereka hanya sedang menunggu giliran entah siapa yang lebih dulu meninggalkan ataupun ditinggalakan"
Komentar
Posting Komentar